Sabtu Soreku : Dia Mungkin Tuna Rungu, Tapi Tidak Juga Tuna dalam Rasa.

Djokjakarta hari keempat di bulan Januari 2014.
Dan inilah cerita yang apa adanya.
Hari dengan sebuah makna yang aku alami.


 Sabtu  sore yang terlalu indah untuk mengejar waktu. Kadang aku benci mengapa waktu tak pernah bisa diatur seperti apa yang aku mau. Detak jam di tanganku turut mengiringi pacuan jantung dan memburu setiap detik yang akan berlalu. Jarum panjang diangka tiga dan jarum pendeknya diangka  lima. Keduanya membentuk sudut 90 derajat dan mengisyaratkan keterlambatanku. Ya, seharusnya aku sudah duduk manis di peron. Menunggu denting suara kedatangan kereta api lokal Prameks Jogja-Solo dengan jadwal keberangkatan pukul 14.46 WIB. Aku sudah berjanji pada mama akan pulang dari perantauan dan menghabiskan akhir pekan bersama keluarga. Sementara yang ada dihadapanku sekarang hanyalah layar laptop dan koneksi Yahoo yang membuat aku jengah. Beberapa menit lagi, pasti rangkaian gerbong warna kuning itu akan tiba distasiun. Bertolak dari Jogjakarta dan bertandang menuju kota dengan sejuta pesona, Solo. Dan nyatanya aku masih berkutat dengan laman Yahoo kadaluarsa. Bagaimanapun masih ada beberapa file yang harus aku kirim melalui surat elektronik itu.

Baik, dua puluh menit berlalu dan kesabaranku telah diujung tanduk. Kali ini memang Yahoo tak lagi bersahabat denganku. Bahkan ketika aku mengunggah sebuah filepun ia tak sudi melayaniku. Cukup, aku lebih suka memikirkan janjiku pada mama. Entah apa yang harus aku lakukan, tapi kenyataannya aku sudah melewatkan untaian gerbong prameks yang seharusnya membawaku pulang. Tapi masa bodoh, aku bergegas menuju stasiun Lempuyangan. Berharap akan ada keterlambatan kereta atau semacamnya. Ya, di Indonesia jadwal kereta yang tidak sesuai jadwal memang bukan hal yang mustahil.
                                                

                                                           ***


“ Kereta Lokal Selanjutnya : Sriwedari AC 17.52 WIB“

Tak biasanya Stasiun Lempuyangan sepadat itu. Ah, aku lupa ini masih suasana Natal dan momen tahun baru. Loket yang biasanya lengang sekarang lebih mirip loket kantor pos saat pembagian BLT. Aku berdiri di depan loket 1 yang dikhususkan untuk transaksi KA lokal.  Sayangnya, nasib malang memang tak bisa ditolak. Aku benar-benar ditinggalkan Prameks yang tengah melaju 15 menit yang lalu. Sesak rasa hati, ternyata 15 menit sangat berarti. Harapan dan penyelamatku adalah Sang Sriwedari AC yang siap menyusur seluncur besi menuju kota kesayanganku pukul 17.52. Sedangkan Ini masih pukul 15.53. Itu artinya aku masih punya waktu sekitar dua jam untuk menunggu. Sudah kuputuskan, aku akan menghabiskan dua jam itu untuk berdiam diri di stasiun. Membosankan memang, tapi kakiku enggan melangkah dari stasiun. Aku segera menempatkan diri pada antrian tiket yang panjang. Hingga akhirnya aku memberikan selembar uang di muka loket. Perempuan bersanggul cantik dibalik kaca loket mengulurkan selembar tiket KA Sriwedari. Aku memasuki ruang tunggu stasiun. Mataku menelisik setiap sudut stasiun, berharap ada ruang kosong untuk sekedar duduk. Dan ternyata Tuhan mengirimkan keberuntungan yang lain padaku. Ada sebuah kursi kosong di depan ruang kepala stasiun. Dengan langkah seribu aku mendekatinya dan dapat!
                                                      

                                                               ***

          Menunggu. Mungkin membosankan. Lima menit pertamaku aku habiskan untuk mengamati beberapa pesan di handphone dan berselancar di beberapa jejaring sosial. Sekitar menit ke enam dan selanjutnya aku gunakan untuk sadar lingkungan. Ya, maksudku menyadari lingkungan sekitar dan apa-apa yang terjadi saat itu. Seperti mengamati sepasang kekasih yang duduk berdua nan dimabuk asmara. Pahit memang, ketika aku  justru hanya mendapati diriku sendiri. Tanpa seorangpun untuk diajak berbincang. Aku merasa seorang observer yang mengintai setiap adegan di stasiun kota ini. Mataku juga menangkap seorang masinis muda dengan kawat gigi yang terlihat hilir mudik di dipo lokomotif. Entah apa yang dia lakukan, aku tak begitu paham. Tapi posturnya begitu gagah. Sontak terlintas dipikiranku “Bagaimana jika suamiku kelak seorang masinis?”  Ah, utopis! Lupakan!  Aku berusaha menepis pikiran konyol yang seenaknya melewati ruang imajinasiku. Di sudut stasiun nampak segerombolan ibu-ibu dengan kebaya yang seragam memanggul bakul. Mereka adalah penjaja nasi bungkus yang  seakantak pernah letih meneriakkan “ Nasi Ayaaaaaam!” dengan nada yang nyaring dan unik. Bahkan akupun mungkin tidak dapat menirukannya. Kemudian ku putar kepalaku untuk menghadap ke samping. Seorang wanita paruh baya sedang sibuk menalikan beberapa kantung plastik dihadapannya. Logatnya seakan menunjukkan bahwa ia orang asli Jogja. Awalnya aku berniat membuka pembicaraan dengannya. Tapi aku sungkan. Lagipula aku tak punya bahan untuk dibicarakan. Sial, akhirnya aku hanya terdiam dan nyaris tertidur. Jam ini rasanya juga tidak ingin move on dari posisinya awalnya. Waktu begulir sangat lamban! Aku hanya bisa memandangi setiap orang yang mondar-mandir dihadapanku. Harus aku akui, mengamati keadaan sekitar terkadang memang menyenangkan. Melihat perilaku orang dan menerka apa yang ia inginkan. Banyak hal-hal unik yang bisa ditemukan, sekalipun itu bukan hal yang penting. And yaaa, so you can call that as uncommon pleasure!
                                                   

                                                              ***
                           
                                  “ Naaak, jangan naaak! Sudah, biarin aja!”

          Teriak wanita paruh baya yang sedari tadi disampingku. Rupanya, anak wanita itu tengah berada di salah satu lajur kereta. Sayang, anak itu tidak menghiraukan teriakan ibunya.  Si Ibu menghampiri anaknya yang seolah-olah tak mendengar ucapan Ibunya. Bukan main, menyaksikan hal itu aku hanya bisa bergumam dalam hati betapa bandelnya dia. Berada dilajur kereta adalah perkara yang membahayakan. Mataku terus tertuju pada adegan Ibu dan anak laki-lakinya. Aku menaksir usia anak itu baru menginjak 7 tahun. Tidak dinyana, ia mengorek sesuatu disekitar rel kereta. Entah apa yang dia inginkan. Ibunya hanya geleng-geleng kepala. Ternyata anak itu mengambil sebuah botol susu bekas yang berada di tengah jalur kereta. Kemudian ia berlari membawa botolnya. Diletakkanlah botol itu dikantung sampah sudut stasiun. Ia kemudian saling menepukkan kedua tangannya, seolah ingin membersihkan tangannya.  Si Ibu turut berjalan mengampirinya. Ia membungkukkan badan dan menatap mata anaknya. Ada beberapa kata yang diucapkannya. Sayang aku tak begitu mendengar. Kemudian Ibu itu kembali ke tempat dimana ia duduk, ya disebelahku.

          “ Lain kali sudah biarkan saja, stasiunnya sudah ada yang membersihkan. Itu bukan sampah kamu kan? Kalau orang lain yang membuang sembarangan, biar saja mereka yang ambil. ” Jelas Ibu dengan suara yang lirih dan gesture tubuh yang tegas. Kali ini aku mendengar apa yang Ibu bicarakan, karena ia berada tepat disampingku.

          “Aaah... eeh.. supaya aaa stasiunnya bersih” Anak itu tidak menjawab dengan serius. Hanya menggerakkan tangan dan namun ekspresi wajahnya terlihat mantap. Ternyata ia menggunakan headset atau penutup telinga dan seakan tidak menggubris apa yang diutarakan ibunya.  Ia berlari lagi, entah kemana.  Bandel sekali memang. Mataku terlalu letih untuk mengamati  kemana perginya anak itu. Si Ibu sepertinya juga telah letih untuk menasehati anaknya. Ia  kembali berkutat dan merapikan barang-barang bawaannya.
          
             “ Naah! Naaah jangan!” suara anak itu, menyedot perhatianku lagi. Ia berkata pada seorang anak sebayanya yang baru saja menghempaskan bungkus makanan ringan ke lantai stasiun. Sejenak, anak yang menanggalkan sampah sembarangan itu menatapnya. Kemudian anak itu melenggangkan tubuh dan pergi. Dengan sigap ia meraih bungkus itu. Berlari lagi. Melemparkan bungkusnya ke kantung sampah di sudut stasiun lagi. Menepukkan kedua tangannya seolah ingin membersihkan tangannya lagi. Namun bedanya Si Ibu kini tak menegurnya lagi. Karena Ibu ini masih sibuk dengan barang bawaannya.
          
             Aku terus mengamati anak itu, ia begitu aktif. Berlari kesana dan kemari seolah tak kunjung lelah. Dan satu hal, aku masih bertanya-tanya mengapa ia begitu mencintai kebersihan. Satu hal yang membuatku salut, anak sekecil itu. Emm namun, apakah dia termasuk dalam simtom obsesif kompulsif disorder? Lamunanku melayang dan berlabuh pada buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa yang biasa aku geluti di bangku kuliah. Ah, tapi memang membuang sampah di tempat umum adalah hal yang sewajarnya bukan? Toh anak laki-laki itu masih kecil mungkin nilai akan kebersihan begitu terinternalisasi dalam dirinya.

      Anak itu mendekat dan menyeloroh pada ibunya.
          “Ibuk, keretanya kapan datang?” gaya bicaranya tidak jelas namun ekspresi mukanya tetap saja mantap.
         
            “Nanti. Makanya kamu duduk sini, tunggu keretanya.” Anak laki-laki itu begitu memperhatikan mimik Ibunya. Kemudian ia mengangguk dan duduk dipangkuan Ibunya. Mungkin ia lelah setelah sekian lama berlari-lari tanpa arah distasiun. Ibu memeluk anaknya begitu erat. Sesekali ibunya mencium pipi anak itu. Namun anak laki-laki itu selalu meronta dan ingin melepaskan diri dari pelukan ibunya ketika dicium. Keduanya saling tertawa ketika Si Ibu menimang anak itu bagaikan bayi. Sungguh, pemandangan yang lucu sekali. Aku turut bahagia meski hanya dengan melihatnya.
         
              Anak itu memandang ke arahku untuk beberapa saat. Hal yang bisa aku lakukan hanyalah tersenyum. Ia kemudian hanyut dalan candaan bersama Ibunya. Dan astaga, Tuhan. Kali ini aku melihat dengan jelas. Yang terpasang di telinga bocah  ini menggunakan ternyata adalah bantu pendengaran. Itu bukan headset untuk mendengarkan musik atau sejenisnya. Aku tertegun. Anak ini ternyata tuna rungu. Pantas saja ia selalu memperhatikan mimik ibunya saat hendak berinteraksi. Aku terlalu cepat memberikan judgement pada orang yang baru sekilas aku temui.

          Beberapa saat kemudian Ibu dan anaknya pergi bersiap menumpangi K.A. Gadjah Wong dengan tujuan akhir Jakarta. Mataku tak henti mengiringi kepergian mereka. Aku masih tertegun dengan apa yang baru saja aku amati. Tantang anak itu dan Ibunya. Disekitar aku masih melihat beberapa sampah berserakan meskipun berulang kali petugas cleaning service mencoba membersihkannya. Namun nyatanya stasiun ini tidak pernah benar-benar bersih. Petugas cleaning service dan pengunjung stasiun seperti dua sisi mata koin yang berbeda. Yang satu senantiasa membersihkan, sedang yang satunya senantiasa menambah kuantitas sampah yang seharusnya bisa mereka bersihkan sendiri.
                                                                     

                                                                 ***

          “ Mohon perhatian, KA Sriwedari AC akan segera tiba dari arah timur dengan tujuan akhir Solo Balapan.”


          Suara khas seorang petugas dari balik dipo lokomotif membangkitkan seluruh kesadaranku. Itu dia kereta yang hampir dua jam menyita waktuku. Dengan langkah mantap aku menaiki gerbong kereta. Segera aku duduk ditempat yang tersedia. Akhirnya, selamat tinggal sejenak Jogjakarta! Kereta ini seperti sesak dengan manusia. Sebelum diberangkatkan, seperti biasa pahlawan kebesihan menjalankan misi dengan mengais sampah di setiap sudut gerbong kereta. Hampir dua kantung trashbag besar berhasil di raup oleh dua orang pekerja dengan tulisan cleaning service di bajunya. Pengguna kereta lainnya hanya bengong. Bahkan ada yang tak tanggung-tanggung melemparkan sampahnya di lantai kereta. Miris. Pemandangan yang sama sekali tak ingin aku lihat. Dan lagi, ini mengingatkanku pada sosok anak laki-laki dengan alat bantu pendengaran dan Ibunya. Mungkin banyak orang yang harus belajar padanya. Belajar untuk mensyukuri hidup dalam keterbatasan. Belajar  untuk  menghargai orang lain dengan pekerjaan yang mulia seperti petugas kebersihan. Dan belajar bahwa hidup dalam ketidaksempurnaan dapat menjadikan kita menjadi pribadi yang sempurna. Ya, jika saja kita mau sadar dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dan kereta melaju. Suara mesin dan gemuruh yang khas kian beradu. Rasa prihatin dalam hati juga semakin memburu.

Komentar

Posting Komentar